ISLAMABAD- Bagi orang yang awam, kata-kata tersebut terasa berlebihan. Namun bagi santri-santri yang pernah mengenyam pendidikan di Gontor, kata-kata tersebut bukan hanya omong kosong belaka. Telah banyak yang membuktikan kebenarannya. Tidak banyak yang merasakan manfaat yang disalurkan oleh Gontor ketika berada di dalam Pondok. Sebagian besar mungkin lebih banyak bertanya-tanya kapan semua penderitaan dan kekangan yang diberikan oleh Gontor usai. Bertanya-tanya kapan liburan panjang 50 hari akan tiba. Kapan yudisium kelulusan kelas enam KMI bisa dirasakan.
Lain halnya bagi para alumni yang telah lama meninggalkan Pondok dan merasakan asam garam kehidupan. Kehidupan di Pondok mungkin menjadi kehidupan yang paling nyaman dan menyenangkan selama hidupnya. Tidak banyak yang perlu dikhawatirkan selama kita bisa enjoy menikmati seluruh rutinitas dan kesibukkan yang ada. Melewati masa suka dan duka yang menyenangkan bersama teman-teman terbaik sepanjang masa.
Saat nama terpanggil ketika yudisium kelas enam KMI atau saat pengabdian telah usai, pertanyaan tentang sanggupkah diri ini menghadapi kehidupan luar yang kejam terus terbayang. Cukupkah bekal yang diberikan Gontor? Bagaimana diri ini bisa bersaing dengan pribadi-pribadi lain yang notabane dibentuk dalam miliu yang lebih elit dari sekedar ‘Pondok’? Ketakutan dan kekhawatiran tersebut terus berlalu-lalang silih berganti tanpa henti.
Namun semua ketakutan itu berakhir dalam waktu yang cukup singkat. Semua alumni sadar bahwa Gontor sudah lebih dari cukup dalam membekali para santrinya. Memang, Gontor tidak mengajarkan ilmu agama melebihi pondok-pondok salaf dan tidak mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum secara maksimal seperti SMA pada umumnya. Namun Gontor mengajarkan para santrinya bagaimana cara belajar yang baik. Terbiasa dengan jumlah pelajaran yang banyak membuat alumni-alumni Gontor mampu bersaing dengan mereka yang telah ‘ahli’ dibidangnya.
Gontor membekali para alumninya cara berorganisasi yang baik. Bagaimana menjadi seorang pemimpin dan anggota yang baik. Tidak heran alumni-alumninya mampu memimpin organisasi-organisasi besar di Indonesia. Seperti halnya Bapak Hidayat Nur Wahid yang merupakan mantan Ketua MPR RI, Bapak Din Syamsuddin mantan Ketua Umum Muhammadiyah, Bapak Hasyim Muzadi mantan Ketua Umum Tanfidziyah NU, dan lain sebagainya.
Gontor juga mengajarkan bagaimana menjadi seorang pengusaha. Tidak heran jika sebagian besar alumninya selain bekerja sebagai seorang guru, juga merupakan pengusaha-pengusaha sukses. Selama di Gontor, santri belajar bagaimana mengambil kesempatan yang ada dan memanfaatkannya seefisien mungkin. Alumni Gontor tidak akan ragu dan malu dalam memulai usaha dan mengambil kesempatan. Selama itu adalah sesuatu yang halal, maka tidak menjadi masalah.
Belum lagi dengan bekal bahasa yang Gontor berikan. Saat di pondok mungkin kita tidak merasakan manfaatnya karena disekitar kita banyak orang yang sudah lebih ahli dalam bidang bahasa dari pada diri kita. Namun sifat percaya diri dan tidak takut salah dalam menggunakan bahasa asing merupakan bekal yang sangat berguna terutama jika kita berkesempatan untuk mengenyam pendidikan di luar negeri. Gontor sangat berjasa dalam mengajarkan cara penerapan bahasa asing secara cepat kepada para santrinya.
Berlatih organisasi dalam Koordinator Gugusdepan Gerakan Pramuka. Sumber foto @gontorgraphy |
Belum lagi jika dihitung dengan pembentukan karakter dan kedisiplinan yang sudah menjadi kebiasaan hidup di pondok. Dalam bidang bahasa Pondok Modern Darussalam Gontor mengadakan Study Tour ke Mesir bagi santri peminat bahasa Arab dan ke Australia bagi Santri peminat bahasa Inggris. Selain itu Pondok Modern Darussalam Gontor tak pernah absen dalam mengirimkan pasukan Kontingen Pramuka dalam kesempatan Jamboree Dunia mewakili Indonesia. Hal inilah salah yang menjadi salah satu faktor kematangan mental Santri-santri nya. Bukan hanya Pendidikan dibangku kelas saja yang didapatkan melainkan Pengajaran nilai kedisiplinan, tanggungjawab, kemandirian pula yang mendorong Santri-santri nya untuk menjadi pribadi yang matang dan cakap dalam Kepemimpinan. Disamping itu keikhlasan dan ukhuwah islamiyah yang telah mendarah daging di dalam diri santri. Pengembangan dan penggalian potensi diri serta berbagai hal lainnya yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata namun selalu terasa, berbekas, dan tidak pernah lengkang oleh waktu. Kasih sayang Gontor masih jelas terasa hingga saat ini. Benar, Gontor adalah ibu kedua setelah ibu yang telah melahirkan kita ke dunia ini. Gontor telah memberikan kunci yang bisa membuka segala pintu. Akhirnya keputusan terakhir kembali pada diri santri sendiri, pintu manakah yang akan kau buka?