ISLAMABAD-
Ketika mobil bertenaga bensin menggantikan kereta kuda pada akhir abad ke-19, dunia perlahan-lahan menyaksikan mulai hilangnya bengkel kereta kayu dan peternakan kuda. Kereta kuda beralih menjadi kereta besi bermesin dengan bahan bakar bensin. Pada saat bersamaan, bengkel otomotif, perusahaan jasa asuransi, dan pompa bensin hadir dalam kehidupan manusia. Demikian pula dengan sifat pekerjaan dari yang sebelumnya sangat dekat dengan alam dan tanpa mesin, tanpa polusi, berubah menjadi sangat mekanis, polluted, berbasis keterampilan kursus. Bagaimana Menghadapi disruptive phenomenon 4.0 ini?
Di seluruh dunia, manusia menyaksikan suatu peralihan: masyarakat pertanian-peternakan menjadi masyarakat industri dan jasa. Ketika peralihan terjadi, kita akan selalu menemukan kelompok orang yang tak siap dan menolak perubahan. Pengangguran menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Namun, masa peralihan itu juga membuat manusia mulai berpikir tentang pentingnya pendidikan sekolah dan keterampilan.
Kini dunia tengah menyaksikan perpindahan dari mobil bertenaga bensin ke self-driving car yang dikendalikan teknologi informasi (internet) melalui smartphone. Petugas bengkel kelak bukan lagi seorang montir yang dikenal pada abad ke-20, melainkan para ahli IT yang bekerja dengan perangkat lunak. Suka tidak suka, Internet of Things membentuk kita mulai hari ini.
Perubahan tersebut dapat kita rasakan di lingkungan terdekat kita sekalipun, tentu kita masih ingat bahwa setelah ibu-ibu rumah tangga masak menggunakan tungku kayu bakar, kompor sumbu dengan bahan bakar minyak tanah mulai masuk pasar kala itu. Dan pada saat ini berubah total menjadi kompor-kompor baru menggunakan Liquefied Petroleum Gas yang familiar disebut sebagai gas LPG maupun kompor elektrik.
Tak sampai disitu, fenomena model bisnis baru berbasis teknologi aplikasi kini berada di smartphone yang kita gunakan sehari-hari. Belanja tidak lagi perlu ke pusat perbelanjaan atau pasar, bahkan untuk supply raw material produksi dalam jumlah besar sekalipun dapat diakses dan diperoleh dengan mudah.
Selain sektor perdagangan yang berubah begitu cepat, Uber hadir pada tahun 2009 sebagai transportasi online dan mengancam eksistensi taksi konvensional di Amerika pada saat itu. Kemudahan akses penumpang maupun pengemudi serta fixed price yang sudah ditentukan melalui aplikasi memberikan kenyamanan lebih untuk pelanggan dibanding taksi konvensional.
Dunia tengah menyaksikan runtuhnya perusahaan-perusahaan besar yang sepuluh hingga tiga puluh tahun lalu begitu besar mulai tumbang di sana-sini, seperti yang dialami Kodak dan Nokia. Mengapa itu bisa terjadi? Fenomena ini disebut sebagai disruption. Model bisnis dan kebutuhan masyarakat terus berkembang dan berubah sehingga akan menggerus dan meninggalkan para pemain lama yang tetap konservatif dan tidak mengikuti perubahan. Hal inilah yang akan kita bahas lebih lanjut dalam pembahasan selanjutnya mengapa disruptive phenomenon bisa terjadi dewasa ini seiring dengan berkembangnya industrial revolution dan bagaimana mengatasinya.
History of Industrial Revolution
Perubahan zaman selalu ditandai dengan peristiwa penting yang terjadi sebagai titik balik kelahiran era baru, demikian halnya perubahan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat eropa pada abad ke 18 melalui revolusi industri pada masa itu. Revolusi Industri merupakan periode perubahan besar-besaran di berbagai sektor. Mulai dari sektor pertanian, produksi, transportasi, dan teknologi yang memiliki dampak krusial terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di dunia.
Revolusi Industri dimulai dari Inggris hingga menyebar ke seluruh Eropa Barat, Amerika Utara, dan ke seluruh dunia. Sebagai tonggak sejarah dunia, revolusi industri mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan sehari-hari. Khususnya dalam hal peningkatan pertumbuhan populasi dunia serta pendapatan rata-rata penduduk setelah beralih dari budaya agrikultur. Seperti yang disampaikan oleh Robert E. Lucas Jr
For the first time in history, the living standards of the masses of ordinary people have begun to undergo sustained growth. Nothing remotely like this economic behaviour is mentioned by the classical economists, even as a theoretical possibility.[1]
Peraih nobel di bidang ekonomi pada tahun 1995 ini menyatakan bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, standar hidup rakyat biasa mengalami pertumbuhan yang berkelanjutan. Perilaku ekonomi seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya bahkan sebagai kemungkinan teoretis oleh para pakar ekonomi klasik.
Salah satu faktor yang melatarbelakangi kebangkitan revolusi industri adalah terjadinya revolusi ilmu pengetahuan pada abad ke 16 dengan munculnya para ilmuan seperti Francis Bacon, René Descartes, Galileo Galilei serta adanya pengembangan riset dan penelitian. Ada juga beberapa faktor internal seperti ketahanan politik dalam negeri, perkembangan kegiatan wiraswasta, dan sumber daya alam.
Penggunaan istilah“Industrial Revolution” pertama kali digunakan dalam surat yang ditulis oleh utusan Perancis Louis-Guillaume Otto pada 6 Juli 1799, mengumumkan bahwa Perancis telah memasuki perlombaan industri.[2] Istilah Revolusi Industri digunakan untuk perubahan teknologi pada umumnya pada akhir 1830-an. Istilah Revolusi Industri juga dikemukakan oleh Friedrich Engels dalam bukunya The Condition of the Working Class in England pada tahun 1844. Seorang filsuf Jerman ini mengatakan bahwa Revolusi Industri adalah sebuah revolusi yang pada saat yang sama mengubah masyarakat sipil seluruhnya.[3] Istilah ini selanjutnya dipopulerkan oleh Arnold Toynbee pada tahun 1881.[4] Revolusi Industri berkembang melalui empat tahap hingga kini disebut sebagai Industrial Revolution 4.0.
Fase Pertama, dimulai sekitar tahun 1760 hingga 1850 yang kemudian disebut sebagai Industrial Revolution 1.0 di mana terjadinya peralihan penggunaan tenaga kerja di Inggris yang sebelumnya menggunakan tenaga hewan dan manusia, yang kemudian digantikan oleh penggunaan mesin. Periode awal dimulai dengan penggunaan mesin untuk industri tekstil, pengembangan teknik pembuatan besi dan peningkatan penggunaan batubara. Ekspansi perdagangan turut dikembangkan dengan dikembangkannya sarana transportasi, perbaikan jalan raya, hingga rel kereta api. Adanya peralihan dari perekonomian yang berbasis pertanian ke perekonomian yang berbasis manufaktur menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk besar-besaran dari desa ke kota, dan pada akhirnya menyebabkan membengkaknya populasi di kota-kota besar di Inggris.
Awal periode revolusi industri secara tepat masih diperdebatkan diantara para ahli sejarah karena laju pertumbuhan sosial ekonomi yang sangat cepat. Eric Hobsbawm berpendapat bahwa Revolusi Industri dimulai di Inggris pada tahun 1780 dan tidak sepenuhnya dirasakan sampai tahun 1830-an atau 1840-an,[5] sedangkan T.S. Ashton berpendapat bahwa itu terjadi kira-kira antara tahun 1760 dan 1830.[6] Industrialisasi yang cepat pertama kali dimulai di Inggris, dimulai dengan produksi mesin pemintal pada tahun 1780-an. Produksi mesin tekstil menyebar dari Inggris ke benua Eropa dan Amerika Serikat pada awal abad ke-19.
Fase kedua, resesi ekonomi mulai terjadi sekitar akhir tahun 1830 hingga awal 1840. Produksi menggunakan mesin pemintal dan tenun mekanis mulai melambat dan mengalami penurunan. Inovasi baru mulai dikembangkan kembali pada di tahap ini. Produksi lokomotif, kapal uap, dan teknologi baru lainnya seperti telegraf listrik mulai berkembang dan diperkenalkan secara luas sekitar tahun 1840 dan 1850.
Pertumbuhan ekonomi yang cepat kembali terlihat setelah tahun 1870, muncul dari inovasi baru lainnya yang kemudian disebut sebagai Industrial Revolution 2.0. Termasuk proses baru pembuatan baja, produksi massal, produksi perakitan, sistem jaringan listrik, pembuatan alat-alat mesin berskala besar serta penggunaan mesin yang semakin maju di pabrik produksi bertenaga uap.
Revolusi Industri kedua sering dicirikan dengan produksi baja sebagai sektor baru dalam industri produksi pada awal tahun 1850. Kemudian secara bertahap tumbuh mencakup industri kimia, minyak bumi, hingga industri otomotif pada awal abad ke-20. Teknologi-teknologi baru lainnya mulai ditemukan di revolusi industri pada tahap ini seperti kereta uap yang ditemukan oleh Richard Trevithick pada tahun 1804, pesawat telepon oleh Alexander Graham Bell pada tahun 1872, mobil dengan bahan bakar minyak oleh Karl Benz pada tahun 1886, hingga pesawat terbang oleh Wright Brothers pada tahun 1903.
Fase ketiga, munculnya teknologi digital dan internet menandai awal mula Revolusi Indusri 3.0 dengan dikenalkannya sistem teknologi informasi dan komputerisasi (Information Technology and Computerization) untuk menunjang otomatisasi produksi (product automation). Proses revolusi industri ini menurut David Harvey disebut sebagai proses pemampatan ruang dan waktu. Ruang dan waktu semakin terkompresi dan memuncak pada revolusi tahap 3.0 yang disebut sebagai revolusi digital dimana segala sesuatu terintegrasi secara real time.
Fase keempat, ditandai dengan pengembangan artificial Intelligence, augmented reality, Internet of Things, nano technology, dan inovasi-inovasi baru lainnya yang kemudian dikenal sebagai Industrial Revolution 4.0. Perubahan tersebut terjadi dalam kecepatan eksponensial yang akan berdampak terhadap ekonomi industri maupun sektor lainnya. Istilah Industry 4.0 pertama kali digunakan di Jerman pada tahun 2011 yang ditandai dengan revolusi digital sebagai industri yang mencakup berbagai basis teknologi mulai dari 3D Printing hingga robotik yang diyakini mampu meningkatkan produktivitas industri.
Tahap industri 4.0 dapat kita rasakan pada saat ini dengan berkembangnya penggunaan artificial intelligence dengan algoritma yang dikembangkan oleh aplikasi sosial media seperti facebook dan Instagram. AI digunakan untuk mendeteksi ketertarikan pengguna dibidang teretentu sehingga iklan yang ditampilkan lebih strategis dan tepat sasaran.
The Great Shifting as Disruptive Phenomenon
“We didn’t do anything wrong, but then we lost” ujar Stephen Elop, CEO Nokia sebelum menyerahkan divisi handset perusahaannya yang begitu berjaya kepada Microsoft. Nokia tidak melakukan satu kesalahan pun, tetapi kemudian perusahaannya hilang produknya kalah, tergusur, tak lagi diminati pasar.
Sustaining innovation yang dulu dianjurkan para ahli. Kini, hal ini tak cukup lagi. menjadi persoalan besar pada abad ini sebab dunia tengah menyaksikan tumbangnya merek-merek besar yang tak pernah kita duga akan secepat itu terjadi. Tanpa kesalahan apa pun. Hal ini tak hanya terjadi dalam skala global, tetapi juga di negara kita. Itulah yang tengah dialami oleh perusahaan taksi konvensional seperti Blue Bird serta perusahaan incumbent lainnya.
Generasi baru di era ini mulai mengembangkan model bisnis yang amat disruptive, sehingga barang dan jasa lebih terjangkau (affordable), lebih mudah terakses (accessible), lebih sederhana, dan lebih user-friendly. Mereka memperkenalkan sharing economy, on demand economy, dan segala hal yang lebih real time.
Model bisnis seperti ini dapat kita temukan di Indonesia di berbagai digital marketplace semisal Bukalapak dan Tokopedia yang menyediakan berbagai komoditas sesuai permintaan konsumen, kemudian menghubungkannya langsung kepada pemasok dengan kemudahan akses dan harga terjangkau hingga terbentuklah jejaring antar customer dan supplier. Sama halnya GoJek, transportasi online sebagai operator yang menghubungkan penumpang dengan ojek setempat sesuai dengan kebutuhan penumpang (supply on demand).
Di berbagai negara lainnya terdapat cukup banyak perusahaan baru yang sudah melewati tahap uji coba dengan metode-metode baru. Salah satunya adalah Tesla yang menggunakan teknologi bahan bakar listrik yang baru didirikan pada 2003 di Silicon Valley, California. Selain hemat energi dan inovatif, Tesla juga sedang berkreasi membuat mobil yang bisa menyimpan energi dari matahari saat bergerak di jalan raya padia siang hari (dan juga dari putaran dinamo) dan energi tersebut pada malam hari dapat digunakan sebagai tenaga listrik di rumah. Selain itu, Tesla yang bekerja sama dengan Google juga berhasil mengembangkan mobil tanpa awak. Ini benar-benar gebrakan disruption yang bersifat non-digital economy, tetapi dilakukan untuk merespons penggunaan minyak yang berlebih. Mereka menciptakan sesuatu yang lebih hemat bahan bakar dan lebih bersahabat dengan lingkungan.
Teknologi pun sudah masuk generasi Internet of Things. Hal ini berarti media sosial dan komersial sudah memasuki titik puncaknya. Dunia kini memasuki gelombang smart device yang mendorong kita semua hidup dalam karya-karya yang cerdas dan kolaboratif. Smart home, smart city, dan smart shopping, adalah realitas baru yang harus kita hadapi. Hal ini menciptakan peluang bagi yang bergerak cepat dan beradaptasi dengan perubahan sekaligus menjadi ancaman bagi perusahaan yang enggan untuk berubah.
Dan terjadilah disruption. Inilah perubahan yang membuat incumbent menjadi usang dan kehilangan relevansi dalam menghadapi dunia baru. Incumbent yang terbelenggu karena tak ada yang memberitahu, yang memudar karena menolak perubahan model bisnis begitu cepat.
Perubahan yang terjadi diawali dengan hal sedemikian kecil sehingga terabaikan oleh mereka yang besar. Perubahan itu bahkan tidak terlihat, langsung kepada pelanggan, tanpa tanda-tanda yang bisa dibaca. Perubahan itu tiba-tiba begitu besar. Sementara para pemain lama terperangkap dan tidak sadar bahkan katika daya beli pelanggan menurun.
Beberapa supermarket besar sebagai pusat perdagangan elektronik seperti Harco (Glodok), Mangga Dua, bahkan pasar Tanah Abang serta Electronic City yang dulu ramai kini mulai mengalami penurunan penjualan. Akan tetapi perusahaan ekspedisi seperti JNE atau J&T yang sering digunakan oleh berbagai situs belanja online mengalami peningkatan pengiriman barang secara signifikan yang kemudian mengubah pola penyaluran barang dan pusat pengiriman.
The New Business Model
Peradaban dan pola bisnis baru yang diinisiasi oleh Uber di Amerika lahir sebagai model bisnis baru yang kemudian juga hadir dan dapat kita rasakan di Indonesia. Transportasi online seperti GO-JEK dan Grab juga mengusik perusahaan taksi konvensional seperti Blue Bird dan perusahaan lainnya. Seperti apa model bisnis baru ini? Mari kita kenali ciri-cirinya.
Semua ini terjadi karena kemajuan teknologi. Pertama, teknologi mengubah manusia dari peradaban time series menjadi real time. Di masa kini, semua hal menjadi serba real time. Data hari ini, pada detik ini juga langsung terolah dalam big data dan secepat itu pula bisa disimpulkan dan ditindak lanjuti.
Kedua, pada masa lampau, bila mau berbisnis, Anda harus memilikinya sendiri. Memiliki semua properti dan komoditas untuk diperdagangkan atau digunakan sebagai modal usaha. Kini kita hidup pada era aset-aset konsumtif yang terbuka untuk digunakan bersama, saling berbagi, dan tak harus dimiliki sendiri untuk memulai usaha yang disebut sebagai sharing economy. Siapapun bisa saling memanfaatkan sumber daya. Tak heran pengusaha taksi masa lalu harus mengurus dan memiliki semuanya dalam satu tangan, mulai dari perizinan, mobil, argometer pool taksi, bengkel, pusat pelatihan, asuransi, sampai sopir taksinya. Sekarang setiap peran itu bisa dilakukan siapa saja, saling menyumbang, berbagi, berkolaborasi, berjejaring.
Ketiga, teknologi masa lalu tak memungkinkan kesegeraan. Kita semua harus antre, sabar, dan rela menunggu. Namun sekarang, Anda bisa mendapatkannya begitu Anda inginkan pada saat itu juga (on demand). Saat konsumen menghendaki, Anda sudah berada di dekat mereka dengan produk atau layanan Anda. Jarak sudah mati; stok digital, data, dan armada sudah dipindahkan ke dekat lokasi yang Anda butuhkan. Teknologi dan algoritma big data memungkinkan kita melakukannya.
Keempat, kurva permintaan dan penawaran yang pada masa lalu adalah permintaan dan penawaran tunggal. Kini kita hidup dalam dunia aplikasi yang pada saat bersamaan dikerjakan oleh puluhan, bahkan ribuan jejaring yang mempercepat disruption. Jadi, setiap penawaran selalu menyangkut jaringan ribuan pihak, demikian pula dengan per-mintaan.
Reshape or Create
Kunci dari semua ini adalah manajemen baru dan disruptive mindset. Saat resesi melanda negara-negara industri, Joseph Schumpeter memperkenalkan konsep kewirausahaan. Lalu, dunia mulai terbiasa dengan siklus ekonomi (crises-growth), yaitu siklus bergantian dari pertumbuhan, lalu krisis, lalu tumbuh lagi, bergantian naik dan turun. Setelah itu, kita belajar tentang hierarki, koordinasi, allignment, pengukuran kinerja, dan seterusnya.
Semua ini memberi pencerahan bahwa kita perlu memberi ruang untuk melakukan akselerasi demi mengejar perubahan yang semakin hari semakin cepat di luar sana. Dari metode manajemen Jepang yang marak sejak 1980 melalui total quality control, dan budaya perusahaan, kita memasuki era re-enginering (1990-an), lalu change (2000), dan transformasi. Kini manajemen pada awal abad ke-21 menuntut kita menghadapi disruption dengan agile management (ketangkasan).
Pada akhirnya, pengusaha, eksekutif, komisaris perusahaan, dan pemimpin strategis lainnya perlu mengambil langkah-langkah taktis untuk terus bertahan, mempertajam yang sudah ada (reshape), atau membuat yang sama sekali baru (create). Segala sesuatu yang baru itu membutuhkan waktu yang lama untuk tumbuh dengan sempurna. Tentu kita ingat bahwa Jeff Bezos butuh 20 tahun membangun Amazon untuk tumbuh besar hingga saat ini.
Itu sebabnya, pelaku-pelaku usaha lebih senang mengambil alih perusahaan-perusahaan yang sudah jadi, memperkuat dan memperbaiki manajemen dan struktur keuangan ketimbang memulainya kembali dari awal. Hasilnya bisa lebih cepat didapat. Mereka memilih jalan reshape ketimbang create. Namun, ada satu hal yang harus dilakukan, yaitu menangani bisnis lama atau produk lama yang terserang disruption. Setidaknya, model bisnis mereka harus diperbarui, diremajakan, atau dibuat baru sama sekali.
Setiap kali berhadapan dengan peradaban baru, kita menyaksikan kepanikan-kepanikan. Padahal, setiap zaman selalu membawa kebiasaan-kebiasaan atau caranya sendiri. Tak sama dengan cara-cara pada zaman sebelumnya.
Yang lalu akan berlalu dan berakhir. Kemudian dimulailah suatu era baru. Namun, orang-orang lama punya kecenderungan menjadi panik, dan menolak. Tentu saja, ini juga tak mengapa. Hanya saja, ada konsekuensinya. Yang lama, yang menolak pembaruan akan bertarung, lalu memudar, dan tetap saja akan berakhir pada waktunya. Pendatang baru hampir pasti memilih jalur create dengan mengubah masalah yang ada sebagai kesmpatan baru, sedangkan yang lama bisa punya pemilihan yang lebih luas: reshape the old one atau create a new one.
Penulis : Adam Ridho Muzakki